Di antara Giant Bullae vs PJPK
( Ditulis berdasarkan kisah nyata )
by Taat Ujianto
Tulisan ini disusun berdasar
kejadian nyata. Mengingat sumber utama tulisan
berupa catatan harian, maka penulis sengaja menyajikannya secara selang-seling
antara catatan harian dan
pemaparan.
Sint Carolus, 19 Oktober 2012
Dokter
spesialis paru, baru saja datang. Suster bangsal memanggilnya, Profesor Win.
Setelah menganalisa hasil scan paru anakku, ia memvonis, “Putri Bapak mengidap Giant Bullae pada bagian paru kiri. Sebaiknya segera dilakukan bullaectomy”.
Pernyataan itu
membuat mataku berkunang-kunang. Penjelasan lebih lanjut, tak bisa kucerna. Karena melihat kondisiku, profesor Win berpesan,
“Bapak tenangkan diri, silakan bicarakan dengan keluarga. Bila sudah ada
keputusan, hubungi saya atau hubungi Dokter Moggi.” Aku hanya bisa balas anggukan sembari mengusap air mata yang mengucur
tanpa permisi.
Badanku terasa
melayang, terperosok dalam lubang gelap yang
menghisapku. Rasa perih di hati menyeruak. Tak bisa kupungkiri, benteng
ketegaranku goyah oleh berita itu. Sejenak aku tak mampu menguasai diri. Kulihat
istriku juga tergoncang. Jeritan tangis anakku membuatku sadar,
aku harus kuat.
Seraphine
Tayani Putri, demikian kunamai anak kami. Lahir 14 Mei 2012, di ruang Elisabeth
Sint Carolus. Baru berusia 5 bulan sudah harus berjuang hidup-mati melawan
jenis penyakit yang masih asing di telingaku. Nafasnya pendek dan tersengal. Matanya
sembab oleh tangis. Sudah 10 hari ia terbaring dengan jarum infus di tangan. Di
hidungnya terpasang selang oksigen, temannya melawan sesak nafas. Ia berhenti menangis setelah menemukan sumber asi,
satu-satunya asupan makanan sejak ia lahir.
Kutinggalkan
istriku untuk mencari ruang berpikir. Sesuatu harus dilakukan. Aku begitu awam
dalam soal penyakit. Aku juga baru tahu, dari berbagai persoalan pelik
kehidupan, ternyata ada penyakit dengan nama Giant Bullae. Jika mengandalkan otakku yang tidak tergolong cerdas
ini, niscaya aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kuputuskan minta informasi dari
sahabat-sahabatku. Segera sms kukirim
ke semua teman.
Dari informasi sana-sini, dapat kusimpulkan jenis penyakit ini. Giant Bullae disebabkan oleh emphysema, yakni kondisi ketika kantung-kantung udara di paru-paru
perlahan-lahan rusak. Kantung udara dalam paru yang berbentuk seperti kumpulan
anggur akan berubah menjadi sebuah kantung seperti balon. Udara yang terjebak
di dalamnya, tidak bisa keluar. Paru tidak mampu lagi mengikat oksigen yang dibutuhkan tubuh. Selain akan kesulitan bernafas, bahaya gagal fungsi pernafasan akan mengancam si
penderita.
Penyebab emphysema adalah
polusi udara berkepanjangan. Polusi ini bisa karena: asap rokok, asap mariyuana,
asap pabrik, abu batu bara dan silika, maupun faktor keturunan. Apa pun penyebabnya, jenis penyakit ini jarang sekali diidap
oleh seorang bayi. Rata-rata diderita oleh orang berumur 40-an. Menurut
kesaksian suster kepala dan dokter spesialis anakku, Dokter Moggi, sepanjang menangani pasien, baru kali ini mereka jumpai.
Sint Carolus, 24 Oktober 2012
Setelah
berbicara dengan keluarga, saya menandatangani pernyataan bersedia menjalani proses
bullaectomy. Menurut penjelasan Dr. Wuryantoro, spesialis bedah toraks, ia
akan melakukan pengangkatan paru bagian kiri. Cukup rinci ia jelaskan
prosedurnya. Di akhir penjelasannya ia mengatakan, “Biasanya, pasien yang saya
tangani berhasil. Tentu, Bapak tetap harus memohon pada Yang Kuasa. Bagaimana
pun juga, tetap ada faktor X di luar kekuatan saya.”
Penjelasan
Dr. Wuryantoro cukup menyejukkan hatiku. Seolah
tahu yang aku pikirkan dengan masa depan anakku, aku masih sempat dihibur, “Bapak
jangan terlalu kawatir, di dunia ini cukup banyak orang yang hidup dengan
ditopang satu paru, misalnya Jendral Sudirman.”
Baiklah. Kun fa yakun, apa yang mesti terjadi, terjadilah. Aku ini
hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu.
Setelah periksa jantung, ct scan,
pada hari Rabu, 24 Oktober 2012, sekitar pukul 19.00,
anakku memasuki kamar bedah. Matanya polos. Dengan digendong istriku yang tak
hentinya terisak, ia menatap bingung.
Saat harus berpisah dengan ibunya, Seraphine menangis. Pintu kamar
operasi ditutup. Kami diminta menunggu di ruang tunggu.
Dalam genangan
air mata, kupejamkan mataku. Seraya bersimpuh, aku berguman memohon keselamatan
untuk buah hatiku. Baru terasa, harta benda di dunia ini tak pernah sepadan
dengan nilai keselamatan bagi seorang anak, apalagi darah daging sendiri. Aku
tak peduli mau berapa pun biayanya, akan kutanggung. Berapa pun hutang yang
akan aku tanggung, akan kubayar selama nyawaku masih ada.
Para pembaca yang budiman, bencana karena sakit tak bisa
diduga-dinyana. Saat itu terjadi, terasa bahwa kesehatan mahal harganya. Bukan
hanya secara materiil tetapi juga secara moril. Kebahagian dan keberlimpahan di
dunia ini akan sia-sia bila sehat dan keselamatan tak didapat.
Pengalaman saya menghadapi
penyakit Giant Bullae yang
diidap Seraphine telah membuktikan bahwa tindakan preventif menjaga kesehatan
dan mempunyai jaminan kesehatan adalah mutlak dan sangat penting. Dalam konteks
inilah, saya patut bersyukur karena menjadi anggota Pelayanan Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan (PJPK) Sint Carolus.
Bencana yang mendera Seraphine, tak akan bisa kami
tanggung bila tanpa PJPK. Saya hanya seorang guru SMP swasta. Dengan penghasilan yang hanya sekedar dapat
hidup alias
pas-pasan, jelas akan kelimpungan mencari biaya pengobatan Seraphine. Dengan
operasi toraks dan penanganan medis rumit, mungkin akan menghabiskan dana di atas 50 juta.
Jumlah rupiah yang fantastis bagi kami.
Dengan menjadi anggota PJPK, beban memikirkan biaya
pengobatan bisa disisihkan. Oleh karena itu, saat menjalani pengobatan
Seraphine, kami sekeluarga nyaris hanya konsentrasi mendampingi Seraphine.
Dengan pelayanan tenaga medis Sint Carolus yang jempolan (dari dulu menjadi
rujukan kami), lelah psikologis, relatif tertanggungkan.
Lalu, bagaimana kalau kami tidak mempunyai jaminan
kesehatan? Kalau tidak menjadi anggota PJPK, nasib apa yang akan terjadi? Saat
kami membawa Seraphine ke Carolus, isi dompet kami hanya Rp 200.000,-. Semua
tahu bahwa untuk bisa dirawat inap, haruslah memberi jaminan senilai,
paling tidak dua juta. Bila tidak ada jaminan, penanganan pasien tidak akan
ada. Keselamatan jiwa pasien berada di atas lembaran duit. Ini bukan rahasia
umum. Zaman telah memaksa kita menyepakati bahwa dalam kondisi seperti ini,
manusia setara atau bahkan lebih rendah dari suatu jaminan.
…Sambil
menunggu proses operasi, anganku mengembara tanpa tujuan. Sudah dua minggu aku
menginap di bangsal anak Sint Carolus. Mungkin para suster perawat sudah hafal
bau badanku. Mereka sungguh baik, penuh kasih sayang melayani Seraphine dan
pasien lain. Dari memandikan, memberikan obat, semua tanpa cela. Kebersihan
bangsal terjaga. Semua petugas begitu simpatik dan sopan. Dalam
kondisi tak menentu mengharap kesembuhan Seraphine, mereka laksana malaikat
yang menemani kami. Digaji berapakah mereka sehingga begitu baik? Atau memang
dari dasarnya mereka adalah manusia yang baik? Apakah kebutuhan anak-anaknya
dapat dipenuhi dari gaji mereka? Apakah semua ini karena biaya pengobatan yang
mahal di Carolus sehingga pelayanannya baik?
Haruskah aku mengamini “biaya mahal = baik pelayananya”? Sehingga ada pepatah “orang miskin dilarang sakit”?
Bukan kali ini
saja, aku menghuni bangsal Carolus. Aku pun pernah dirawat mereka. Aku pun
berulang kali menunggu pasien sanak saudara. Dan dari semua pengalaman ini,
Sint Carolus adalah terbaik. Ini penilaian subjektif memang, tapi aku jujur.
Tentu, pelayanan yang baik ini tidaklah cuma-cuma. Banyak orang mengeluhkan di
Carolus lebih mahal dibanding rumah sakit lain. Dengan sedikit atau banyak keuntungan
(mahal), apakah membuat semakin baik pelayanannya?
Aku pernah
merasakan pelayanan di beberapa rumah sakit lain. Setiap kali dokter memeriksa,
resep diberikan dan harus ditebus di luar rumah sakit. Obat belum diminum
(karena penunggu dan pasien kadang tidak tahu), datang lagi resep baru. Para dokter kurang penjelasan.
Perawatnya judes, ketus dan tidak simpatik. Kerabat yang
menunggu pasien justru terteror dan tertekan dengan pelayanan mereka. Kadang
juga kondisi bangsal terlalu penuh dan pengab karena jumlahnya melebihi
kapasitas. Ah, intinya aku tidak
nyaman di rumah sakit lain.
Aku sempat
berpikir, sudah adilkah cara berpikirku? Konon, seorang terpelajar harus adil
sejak dari pikiran, apalagi perbuatan. Siapa yang bilang demikian? Aku lupa.
Tapi bila aku menengok jauh ke belakang, sejarah medis di negeri ini juga
diwarnai dengan kepentingan modal
(baca: capital). Lahirnya Dokter Jawa sekitar tahun 1853 dari sekolah pendidikan dokter di Hindia
dengan nama STOVIA (School tot
Opleiding van Indische Artsen) karena adanya kepentingan bisnis perkebunan.
Mengingat tingginya angka kematian dan mahalnya arti kesehatan bagai para buruh
dan pejabat di daerah industri perkebunan, mereka memilih mencetak tenaga medis
untuk mengatasi masalah mereka. Mereka memprakarsai pendirian sekolah dokter. Para
terpelajar Hindia yang cakap direkrut dan dididik dengan dibayai pemerintah.
Setelah lulus mereka harus mengabdi dan tunduk pada aturan yang tentu memihak
kepentingan industri perkebunan. Walaupun di luar perkebunan, ribuan nyawa
rakyat jelata juga terancam oleh wabah kolera, malaria, cacar, tetapi mereka
dituntut memprioritaskan kepentingan perkebunan. Memang, dari sekian dokter,
ada yang menyalahi aturan dan justru berbalik melawan kepentingan pemerintah. Siapa
di antara mereka ini? Salah satunya Tjipto Mangoenkoesoemo. Kepada orang
semacam ini, aku tunduk menghormat.
Kini zaman telah berubah, tapi
beberapa wataknya tetap tak berubah. Atas nama modal, kadang nilai
manusia menjadi lebih rendah dibanding nilai uang. Pasien yang tak punya uang,
tak mempunyai jaminan, niscaya tak akan mendapatkan pelayanan sebaik ini.
Mereka yang hanya bermodal kartu keterangan miskin akan mendapat pelayanan yang
jauh lebih rendah. Inikah ketidakadilan? Aku tidak tahu. Sulit mengurai masalah
ini. Yang pasti, dalam pengembangan industri medis, diperlukan akumulasi modal
yang bisa digunakan untuk
menghadapi persaingan dunia medis. Mereka harus membuat suatu penelitian, menciptakan
terobosan baru pengobatan, pengembangan, dan lain-lain. Tanpa nilai lebih, alias keuntungan yang cukup
(mahal), niscaya pengembangan pelayanan medis juga tidak akan bisa
berjalan. Dengan lain kata, pemegang modal pun harus mengikuti logika
ini.
Di tengah situasi zaman seperti
ini, mempunyai asuransi
kesehatan sebagai jaring pengaman adalah mutlak. Dan aku adalah salah satu orang yang beruntung. Aku bersyukur
karenanya. Yayasan tempatku bekerja, bermitra dengan PJPK. Berkat kartu keanggotaan PJPK, Seraphine mendapat pelayanan
yang baik di tempat ini.
PJPK dapat diartikan sebagai salah satu lembaga asuransi
kesehatan. Namun, asuransi lain terkadang hanya bergerak dalam pendanaan saja.
Berbeda dengan PJPK. Ia tidak bisa dilepaskan dari keberadaan pelayanan
kesehatan Sint Carolus. Dalam arti lain, PJPK dan Sint Carolus adalah dua belah
sisi keping mata uang. Setiap anggota PJPK, otomatis relatif lebih mudah
mengakses pelayanan kesehatan di Sint Carolus. Walaupun PJPK memfasilitasi dan
menanggung biaya berobat di luar Sint Carolus, namun banyak orang memilih
menjadi anggota PJPK justru karena pertimbangan “bila aku sakit, aku ingin
dirawat di Sint Carolus.” Karena apa? Karena di Sint Carolus, pelayanannya
sangat manusiawi dan baik. Dalam hal ini, PJPK unggul pula secara psikologis.
Lalu, adakah kelemahan PJPK? Satu-satunya, mungkin karena
PJPK hanya melayani kelompok karyawan dan keluarganya yang secara resmi menjadi tanggungan perusahaan/instansi. Artinya,
anggota bergabung karena lembaganya yang mendaftarkan. Instansi yang bersedia
menjadi mitra PJPK justru yang lebih menonjol. Akibatnya, orang yang berada di
luar organisasi mitra PJPK, bila ingin bergabung, hingga kini belumlah
terakomodir.
… Satu jam yang lalu aku dan istri telah
diperlihatkan organ paru Seraphine yang diangkat. Organ itu berada dalam
semacam mangkuk aluminium. Warnanya kemerahan. Bentuknya (maaf) seperti tetelan daging untuk sop. Sayang aku lupa
mengabadikan/memfoto peristwa ini. Setelah diperlihatkan, kami diminta menunggu lagi.
Satu jam kemudian kami dipanggil lagi.
Kali ini diminta masuk ke ruangan ICU yang terkesan angker. Dadaku berdebar
penuh harap. Di sebuah ruangan, empat dokter telah menunggu kami. Mereka masih berseragam
operasi. Di tengah berdiri Dr. Wuryantoro. Ia tersenyum dan mengulurkan tangan,
“Bapak-Ibu, selamat, operasi bullaectomy berhasil dengan
baik.” Detak jantungku mereda. “Kami berempat, telah memotong paru bagian kiri.
Di bagian kiri sebenarnya ada dua bagian: atas dan bawah. Bullae ada di bagian bawah dan terpaksa dipotong seluruhnya. Bagian
atas selama ini tidak berfungsi karena terdesak bullae. Bagian tersebut, saat ini sudah mulai mengembang.” Ekspresi
kami kosong. Dr. Wuryantoro melanjutkan, “Seraphine belum sadar, kondisinya
stabil. Dalam empat-lima hari, luka operasinya akan membaik. Semoga tidak ada
komplikasi apa pun.” Aku dan istri
mencoba tersenyum tapi kaku. Perasaan terimakasih terasa sulit sekali terucap,
tapi akhirnya keluar juga dari bibirku. Kami saling bersalaman. Setelah itu
kami dipersilakan melihat Seraphine di ruang ICU.
Di balik kaca, terbujur tiga pasien
dalam pengawasan intensif. Seraphine adalah satu-satunya pasien yang
mengibakan, seorang bayi. Wajahnya pucat. Nafasnya dibantu dengan semacam pompa
dengan selang yang dimasukkan ke mulutnya. Badannya dikelilingi oleh selang:
hidung, kaki, dan tangannya. Hidup dan matinya bergantung pada alat-alat itu.
Hatiku bersujud, “Ya Tuhan, Kau berikan peristiwa tak bisa kulupakan seperti
ini. Berikan yang terbaik untuk Seraphine. Engkau yang mempunyai, Engkau pula
yang bisa memberikan.”
Kini, Seraphine berusia hampir dua
tahun. Setelah rutin kontrol tiap bulan selama satu tahun, kondisinya semakin
sehat dan energik. Pengalaman pahit yang ia alami semoga tidak terulang kembali.
Kami berjanji akan menjaganya dalam memberikan kenangan seindah mungkin. Di
sela bermain, sering kuceritakan tentang malaikat-malaikat hidupnya: suster,
dokter, Sint Carolus, dan tentu, PJPK.
Jakarta, 9 April 2014
Penulis
Ign. Taat Ujianto
Sumber data:
- Catatan harian Ign. Taat Ujianto tahun 2012
- Informasi tentang penyebab Giant Bullae dalam http://meetdoctor.com/topic/emphysema
- Informasi tentang STOVIA di http://id.wikipedia.org
Terima kasih telah mau berbagi pengalaman Pak Taat, semoga Allah senantiasa melindungi dan memberi kesehatan kepada kita semua. Amin
BalasHapusTerima kasih Pak Dwiky,
Hapuskasus giant bullae pada bayi di Indonesia sangat jarang. Semoga catatan kecil ini bisa menjadi referensi bila ada kasus serupa
salam
taat
Pak Ignatius Taat, masih teringat saat kita rame-rame mbangun masjid vila (vmb2) tahun 2010, dan kemudian Bapak lama tidak kelihatan karena mengurusi ananda tercinta. Semoga menjadi ananda yg berbakti kepada kedua orang tua
BalasHapusMakasih Bung Anonim.....pengalaman di atas adalah cambuk bagi saya untuk memberikan terbaik buat anak2 kita. Orang tua adala penerima mandat utama dari Yang kuasa untuk menjadikan setiap generasi bisa berguna untuk masyarakt....salam
Hapus