-->
Headline News
Home » , » Di antara Giant Bullae vs PJPK

Di antara Giant Bullae vs PJPK

Posted by eRTe.4
Website eRTe.04 , Updated at: 16.27.00

Posted by eRTe.4 on Kamis, 23 Oktober 2014

Di antara Giant Bullae vs PJPK
( Ditulis berdasarkan kisah nyata ) 
by Taat Ujianto  

rt.04, vila mutiara bogor 2, bojonggede

Tulisan ini disusun berdasar kejadian nyata. Mengingat sumber utama tulisan berupa catatan harian, maka penulis sengaja menyajikannya secara selang-seling antara catatan harian dan pemaparan. 

 Sint Carolus, 19 Oktober 2012

       Dokter spesialis paru, baru saja datang. Suster bangsal memanggilnya, Profesor Win. Setelah menganalisa hasil scan paru anakku, ia memvonis, “Putri Bapak mengidap Giant Bullae pada bagian paru kiri. Sebaiknya segera dilakukan bullaectomy”. 
       Pernyataan itu membuat mataku berkunang-kunang. Penjelasan lebih lanjut, tak bisa kucerna. Karena melihat kondisiku, profesor Win berpesan, “Bapak tenangkan diri, silakan bicarakan dengan keluarga. Bila sudah ada keputusan, hubungi saya atau hubungi Dokter Moggi.” Aku hanya bisa balas anggukan sembari mengusap air mata yang mengucur tanpa permisi.
       Badanku terasa melayang, terperosok dalam lubang gelap yang menghisapku. Rasa perih di hati menyeruak. Tak bisa kupungkiri, benteng ketegaranku goyah oleh berita itu. Sejenak aku tak mampu menguasai diri. Kulihat istriku juga tergoncang. Jeritan tangis anakku membuatku sadar, aku harus kuat.
       Seraphine Tayani Putri, demikian kunamai anak kami. Lahir 14 Mei 2012, di ruang Elisabeth Sint Carolus. Baru berusia 5 bulan sudah harus berjuang hidup-mati melawan jenis penyakit yang masih asing di telingaku. Nafasnya pendek dan tersengal. Matanya sembab oleh tangis. Sudah 10 hari ia terbaring dengan jarum infus di tangan. Di hidungnya terpasang selang oksigen, temannya melawan sesak nafas. Ia berhenti menangis setelah menemukan sumber asi, satu-satunya asupan makanan sejak ia lahir.
       Kutinggalkan istriku untuk mencari ruang berpikir. Sesuatu harus dilakukan. Aku begitu awam dalam soal penyakit. Aku juga baru tahu, dari berbagai persoalan pelik kehidupan, ternyata ada penyakit dengan nama Giant Bullae. Jika mengandalkan otakku yang tidak tergolong cerdas ini, niscaya aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kuputuskan minta informasi dari sahabat-sahabatku. Segera sms kukirim ke semua teman.

Dari informasi sana-sini, dapat kusimpulkan jenis penyakit ini. Giant Bullae  disebabkan oleh emphysema, yakni kondisi ketika kantung-kantung udara di paru-paru perlahan-lahan rusak. Kantung udara dalam paru yang berbentuk seperti kumpulan anggur akan berubah menjadi sebuah kantung seperti balon. Udara yang terjebak di dalamnya, tidak bisa keluar. Paru tidak mampu lagi mengikat oksigen yang dibutuhkan tubuh. Selain akan kesulitan bernafas, bahaya gagal fungsi pernafasan akan mengancam si penderita.
      Penyebab emphysema adalah polusi udara berkepanjangan. Polusi ini bisa karena: asap rokok, asap mariyuana, asap pabrik, abu batu bara dan silika, maupun faktor keturunan. Apa pun penyebabnya, jenis penyakit ini jarang sekali diidap oleh seorang bayi. Rata-rata diderita oleh orang berumur 40-an. Menurut kesaksian suster kepala dan dokter spesialis anakku, Dokter Moggi, sepanjang menangani pasien, baru kali ini mereka jumpai.


            Sint Carolus, 24 Oktober 2012

       Setelah berbicara dengan keluarga, saya menandatangani pernyataan bersedia menjalani proses bullaectomy. Menurut penjelasan Dr. Wuryantoro, spesialis bedah toraks, ia akan melakukan pengangkatan paru bagian kiri. Cukup rinci ia jelaskan prosedurnya. Di akhir penjelasannya ia mengatakan, “Biasanya, pasien yang saya tangani berhasil. Tentu, Bapak tetap harus memohon pada Yang Kuasa. Bagaimana pun juga, tetap ada faktor X di luar kekuatan saya.”    
       Penjelasan Dr. Wuryantoro cukup menyejukkan hatiku. Seolah tahu yang aku pikirkan dengan masa depan anakku, aku masih sempat dihibur, “Bapak jangan terlalu kawatir, di dunia ini cukup banyak orang yang hidup dengan ditopang satu paru, misalnya Jendral Sudirman.”  Baiklah. Kun fa yakun, apa yang mesti terjadi, terjadilah. Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu.
       Setelah periksa jantung, ct scan,  pada hari Rabu, 24 Oktober 2012, sekitar pukul 19.00, anakku memasuki kamar bedah. Matanya polos. Dengan digendong istriku yang tak hentinya terisak,  ia menatap bingung. Saat harus berpisah dengan ibunya, Seraphine menangis. Pintu kamar operasi ditutup. Kami diminta menunggu di ruang tunggu.
       Dalam genangan air mata, kupejamkan mataku. Seraya bersimpuh, aku berguman memohon keselamatan untuk buah hatiku. Baru terasa, harta benda di dunia ini tak pernah sepadan dengan nilai keselamatan bagi seorang anak, apalagi darah daging sendiri. Aku tak peduli mau berapa pun biayanya, akan kutanggung. Berapa pun hutang yang akan aku tanggung, akan kubayar selama nyawaku masih ada.

rt.04, vila mutiara bogor 2, bojonggede

       Para pembaca yang budiman, bencana karena sakit tak bisa diduga-dinyana. Saat itu terjadi, terasa bahwa kesehatan mahal harganya. Bukan hanya secara materiil tetapi juga secara moril. Kebahagian dan keberlimpahan di dunia ini akan sia-sia bila sehat dan keselamatan tak didapat.
      Pengalaman saya menghadapi  penyakit Giant Bullae yang diidap Seraphine telah membuktikan bahwa tindakan preventif menjaga kesehatan dan mempunyai jaminan kesehatan adalah mutlak dan sangat penting. Dalam konteks inilah, saya patut bersyukur karena menjadi anggota Pelayanan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (PJPK) Sint Carolus.
       Bencana yang mendera Seraphine, tak akan bisa kami tanggung bila tanpa PJPK. Saya hanya seorang guru SMP swasta. Dengan penghasilan yang hanya sekedar dapat hidup alias pas-pasan, jelas akan kelimpungan mencari biaya pengobatan Seraphine. Dengan operasi toraks  dan penanganan medis rumit, mungkin akan menghabiskan dana di atas 50 juta. Jumlah rupiah yang fantastis bagi kami.
       Dengan menjadi anggota PJPK, beban memikirkan biaya pengobatan bisa disisihkan. Oleh karena itu, saat menjalani pengobatan Seraphine, kami sekeluarga nyaris hanya konsentrasi mendampingi Seraphine. Dengan pelayanan tenaga medis Sint Carolus yang jempolan (dari dulu menjadi rujukan kami), lelah psikologis, relatif tertanggungkan.
       Lalu, bagaimana kalau kami tidak mempunyai jaminan kesehatan? Kalau tidak menjadi anggota PJPK, nasib apa yang akan terjadi? Saat kami membawa Seraphine ke Carolus, isi dompet kami hanya Rp 200.000,-. Semua tahu bahwa untuk bisa dirawat inap, haruslah memberi jaminan senilai, paling tidak dua juta. Bila tidak ada jaminan, penanganan pasien tidak akan ada. Keselamatan jiwa pasien berada di atas lembaran duit. Ini bukan rahasia umum. Zaman telah memaksa kita menyepakati bahwa dalam kondisi seperti ini, manusia setara atau bahkan lebih rendah dari suatu jaminan.

       …Sambil menunggu proses operasi, anganku mengembara tanpa tujuan. Sudah dua minggu aku menginap di bangsal anak Sint Carolus. Mungkin para suster perawat sudah hafal bau badanku. Mereka sungguh baik, penuh kasih sayang melayani Seraphine dan pasien lain. Dari memandikan, memberikan obat, semua tanpa cela. Kebersihan bangsal terjaga. Semua petugas begitu simpatik dan sopan. Dalam kondisi tak menentu mengharap kesembuhan Seraphine, mereka laksana malaikat yang menemani kami. Digaji berapakah mereka sehingga begitu baik? Atau memang dari dasarnya mereka adalah manusia yang baik? Apakah kebutuhan anak-anaknya dapat dipenuhi dari gaji mereka? Apakah semua ini karena biaya pengobatan yang mahal di Carolus sehingga pelayanannya baik?  Haruskah aku mengamini biaya mahal = baik pelayananya? Sehingga ada pepatah “orang miskin dilarang sakit”?
       Bukan kali ini saja, aku menghuni bangsal Carolus. Aku pun pernah dirawat mereka. Aku pun berulang kali menunggu pasien sanak saudara. Dan dari semua pengalaman ini, Sint Carolus adalah terbaik. Ini penilaian subjektif memang, tapi aku jujur. Tentu, pelayanan yang baik ini tidaklah cuma-cuma. Banyak orang mengeluhkan di Carolus lebih mahal dibanding rumah sakit lain. Dengan sedikit atau banyak keuntungan (mahal), apakah membuat semakin baik pelayanannya?
       Aku pernah merasakan pelayanan di beberapa rumah sakit lain. Setiap kali dokter memeriksa, resep diberikan dan harus ditebus di luar rumah sakit. Obat belum diminum (karena penunggu dan pasien kadang tidak tahu), datang lagi resep baru. Para dokter kurang penjelasan. Perawatnya judes, ketus dan tidak simpatik. Kerabat yang menunggu pasien justru terteror dan tertekan dengan pelayanan mereka. Kadang juga kondisi bangsal terlalu penuh dan pengab karena jumlahnya melebihi kapasitas. Ah, intinya aku tidak nyaman di rumah sakit lain.
       Aku sempat berpikir, sudah adilkah cara berpikirku? Konon, seorang terpelajar harus adil sejak dari pikiran, apalagi perbuatan. Siapa yang bilang demikian? Aku lupa. Tapi bila aku menengok jauh ke belakang, sejarah medis di negeri ini juga diwarnai dengan kepentingan modal (baca: capital). Lahirnya Dokter Jawa sekitar tahun 1853  dari sekolah pendidikan dokter di Hindia dengan nama STOVIA  (School tot Opleiding van Indische Artsen) karena adanya kepentingan bisnis perkebunan. Mengingat tingginya angka kematian dan mahalnya arti kesehatan bagai para buruh dan pejabat di daerah industri perkebunan, mereka memilih mencetak tenaga medis untuk mengatasi masalah mereka. Mereka memprakarsai pendirian sekolah dokter. Para terpelajar Hindia yang cakap direkrut dan dididik dengan dibayai pemerintah. Setelah lulus mereka harus mengabdi dan tunduk pada aturan yang tentu memihak kepentingan industri perkebunan. Walaupun di luar perkebunan, ribuan nyawa rakyat jelata juga terancam oleh wabah kolera, malaria, cacar, tetapi mereka dituntut memprioritaskan kepentingan perkebunan. Memang, dari sekian dokter, ada yang menyalahi aturan dan justru berbalik melawan kepentingan pemerintah. Siapa di antara mereka ini? Salah satunya Tjipto Mangoenkoesoemo. Kepada orang semacam ini, aku tunduk menghormat.
       Kini zaman telah berubah, tapi beberapa wataknya tetap tak berubah. Atas nama modal, kadang nilai manusia menjadi lebih rendah dibanding nilai uang. Pasien yang tak punya uang, tak mempunyai jaminan, niscaya tak akan mendapatkan pelayanan sebaik ini. Mereka yang hanya bermodal kartu keterangan miskin akan mendapat pelayanan yang jauh lebih rendah. Inikah ketidakadilan? Aku tidak tahu. Sulit mengurai masalah ini. Yang pasti, dalam pengembangan industri medis, diperlukan akumulasi modal yang bisa digunakan untuk menghadapi persaingan dunia medis. Mereka harus membuat suatu penelitian, menciptakan terobosan baru pengobatan, pengembangan, dan lain-lain.  Tanpa nilai lebih, alias keuntungan yang cukup (mahal), niscaya pengembangan pelayanan medis juga tidak akan bisa berjalan. Dengan lain kata, pemegang modal pun harus mengikuti logika ini.   
       Di tengah situasi zaman seperti ini, mempunyai asuransi kesehatan sebagai jaring pengaman adalah mutlak. Dan aku adalah salah satu orang yang beruntung. Aku bersyukur karenanya. Yayasan tempatku bekerja, bermitra dengan PJPK.  Berkat kartu keanggotaan PJPK, Seraphine mendapat pelayanan yang baik di tempat ini.      

       PJPK dapat diartikan sebagai salah satu lembaga asuransi kesehatan. Namun, asuransi lain terkadang hanya bergerak dalam pendanaan saja. Berbeda dengan PJPK. Ia tidak bisa dilepaskan dari keberadaan pelayanan kesehatan Sint Carolus. Dalam arti lain, PJPK dan Sint Carolus adalah dua belah sisi keping mata uang. Setiap anggota PJPK, otomatis relatif lebih mudah mengakses pelayanan kesehatan di Sint Carolus. Walaupun PJPK memfasilitasi dan menanggung biaya berobat di luar Sint Carolus, namun banyak orang memilih menjadi anggota PJPK justru karena pertimbangan “bila aku sakit, aku ingin dirawat di Sint Carolus.” Karena apa? Karena di Sint Carolus, pelayanannya sangat manusiawi dan baik. Dalam hal ini, PJPK unggul pula secara psikologis.
       Lalu, adakah kelemahan PJPK? Satu-satunya, mungkin karena PJPK hanya melayani kelompok karyawan dan keluarganya yang secara resmi menjadi tanggungan perusahaan/instansi.  Artinya, anggota bergabung karena lembaganya yang mendaftarkan. Instansi yang bersedia menjadi mitra PJPK justru yang lebih menonjol. Akibatnya, orang yang berada di luar organisasi mitra PJPK, bila ingin bergabung, hingga kini belumlah terakomodir.

rt.04, vila mutiara bogor 2, bojonggede

       … Satu jam yang lalu aku dan istri telah diperlihatkan organ paru Seraphine yang diangkat. Organ itu berada dalam semacam mangkuk aluminium. Warnanya kemerahan. Bentuknya (maaf) seperti tetelan daging untuk sop. Sayang aku lupa mengabadikan/memfoto peristwa ini. Setelah diperlihatkan,  kami diminta menunggu lagi.
       Satu jam kemudian kami dipanggil lagi. Kali ini diminta masuk ke ruangan ICU yang terkesan angker. Dadaku berdebar penuh harap. Di sebuah ruangan, empat dokter telah menunggu kami. Mereka masih berseragam operasi. Di tengah berdiri Dr. Wuryantoro. Ia tersenyum dan mengulurkan tangan, “Bapak-Ibu, selamat, operasi bullaectomy  berhasil dengan baik.” Detak jantungku mereda. “Kami berempat, telah memotong paru bagian kiri. Di bagian kiri sebenarnya ada dua bagian: atas dan bawah. Bullae ada di bagian bawah dan terpaksa dipotong seluruhnya. Bagian atas selama ini tidak berfungsi karena terdesak bullae. Bagian tersebut, saat ini sudah mulai mengembang.” Ekspresi kami kosong. Dr. Wuryantoro melanjutkan, “Seraphine belum sadar, kondisinya stabil. Dalam empat-lima hari, luka operasinya akan membaik. Semoga tidak ada komplikasi apa pun.”  Aku dan istri mencoba tersenyum tapi kaku. Perasaan terimakasih terasa sulit sekali terucap, tapi akhirnya keluar juga dari bibirku. Kami saling bersalaman. Setelah itu kami dipersilakan melihat Seraphine di ruang ICU.
       Di balik kaca, terbujur tiga pasien dalam pengawasan intensif. Seraphine adalah satu-satunya pasien yang mengibakan, seorang bayi. Wajahnya pucat. Nafasnya dibantu dengan semacam pompa dengan selang yang dimasukkan ke mulutnya. Badannya dikelilingi oleh selang: hidung, kaki, dan tangannya. Hidup dan matinya bergantung pada alat-alat itu. Hatiku bersujud, “Ya Tuhan, Kau berikan peristiwa tak bisa kulupakan seperti ini. Berikan yang terbaik untuk Seraphine. Engkau yang mempunyai, Engkau pula yang bisa memberikan.”

       Kini, Seraphine berusia hampir dua tahun. Setelah rutin kontrol tiap bulan selama satu tahun, kondisinya semakin sehat dan energik. Pengalaman pahit yang ia alami semoga tidak terulang kembali. Kami berjanji akan menjaganya dalam memberikan kenangan seindah mungkin. Di sela bermain, sering kuceritakan tentang malaikat-malaikat hidupnya: suster, dokter, Sint Carolus, dan tentu, PJPK.
rt.04, vila mutiara bogor 2, bojonggede

Jakarta, 9 April 2014
Penulis
Ign. Taat Ujianto

Sumber data:

  1. Catatan harian Ign. Taat Ujianto tahun 2012
  2. Informasi tentang penyebab Giant Bullae dalam http://meetdoctor.com/topic/emphysema
  3.  Informasi tentang STOVIA di http://id.wikipedia.org

Share This Post :

4 komentar:

  1. Terima kasih telah mau berbagi pengalaman Pak Taat, semoga Allah senantiasa melindungi dan memberi kesehatan kepada kita semua. Amin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Pak Dwiky,
      kasus giant bullae pada bayi di Indonesia sangat jarang. Semoga catatan kecil ini bisa menjadi referensi bila ada kasus serupa

      salam
      taat

      Hapus
  2. Pak Ignatius Taat, masih teringat saat kita rame-rame mbangun masjid vila (vmb2) tahun 2010, dan kemudian Bapak lama tidak kelihatan karena mengurusi ananda tercinta. Semoga menjadi ananda yg berbakti kepada kedua orang tua

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Bung Anonim.....pengalaman di atas adalah cambuk bagi saya untuk memberikan terbaik buat anak2 kita. Orang tua adala penerima mandat utama dari Yang kuasa untuk menjadikan setiap generasi bisa berguna untuk masyarakt....salam

      Hapus

Demi menjaga persatuan dan kesatuan , dilarang memberikan komentar yang mengandung unsur sara, pornografi dan hal-hal lain yang bisa menyebabkan permusuhan. Jika ada yang melanggar maka komentarnya akan dihapus oleh admin. Terima kasih.

Translate I Terjemahan

Donatur

 
Copyright © 2015 Website eRTe.04 . All Rights Reserved
Template RT.04 by Creating Website and eRTe.04